Jumat, 11 Maret 2016

PENDAPAT MENGENAI KANTONG PLASTIK DAN TOILET BERBAYAR


     







             Hari Minggu kemarin saya jalan jalan dimall Ramayana tepatnya dipalu sulawesi tengah sesudah saya berbelanja sampailah saya dikasir Mall tersebut untuk membayar barang yang saya beli sedikit mengagetkan adalah mulai hari Minggu 21 Februari 2016 Mall tersebut melakukan Program kantong plastik berbayar , setiap kantong plastik ukuran kecil dihargai 200/lembar Nah, berhubung dengan adanya Tugas dari dosen tentang pendapat mengenai kantong plastik berbayar saya setuju dengan kebijakan ini karna selama ini sering saya temukan banyak kasir yang boros kantong plastik apa apa ditaruh diplastik yang terpisah , padahal menurut saya satu kantong bisa memuat banyak barang , selain itu uang yang dipungut 200/lembar dapat digunakan untuk menanggulangi kemiskinan ditanah air, semoga saja kepercayaan kita kepada kebijakan pemerintah Tidak disalahgunakan demi kepentingan yang lain, Itu pendapat saya dan saya mendukung kebijakan itu
             Disamping itu ketika saya kebelet pipis saya langsung ke wc disekitar Mall , saya kaget disuruh membayar dan saya melaporkan kepada pihak mall Ramayana, dan ternyata memang sudah diperlakukan sistem ini sudah 2 minggu yang lalu, menurut saya dengan diadakan sistem toilet berbayar ini, saya tidak terlalu suka dengan adanya sistem ini, karna ketika orang lain ingin buang air dan tidak mempunyai uang tentu hal ini merepotkan setau saya pihak mall sudah membayar petugas toilet untuk membersihkan, tapi kenapa lagi harus diminta lagi untuk membayar,jujur saya sangat kecewa dengan kebijakan ini











Sabtu, 05 Maret 2016

Kepedulian terhadap sampah

Dunia sedang diterpa isu kerusakan lingkungan hidup yang kian hari tampak nyata. Berdasarkan prakiraan statistik, kurang dari sepuluh tahun ke depan beberapa kota besar di Indonesia disinyalir segera menjelma menjadi “kota sampah” bila manajemen sampah massa tidak dikelola serius oleh masyarakat bersama pemerintah. Salah satu penandanya,  sejumlah TPA utama telah mengalami overload, sedangkan produksi sampah masyarakat meningkat pesat seiring arus urbanisasi sekaligus maraknya pola baru penyajian konsumsi berbungkus. Kini, semua pihak dituntut memiliki kesadaran dengan mengubah perilaku yang lebih ramah lingkungan. Salah satu problem mendasar namun acapkali disepelekan yakni pengelolaan sampah rumah tangga (SRT), yang justru berada di lingkungan terdekat dan meliputi keseharian masyarakat.
Problem sampah dalam kehidupan manusia tak bisa lepas dari sepasang filosofi paradoksal yang menyertainya. Sebagaimana dijelaskan dalam khasanah psikologi lingkungan akan adanya “kebutuhan” dan “keterbatasan”. Di satu sisi, sampah dipandang elemen yang sudah tidak bernilai guna, identik dengan kekotoran dan kuman penyakit yang menimbulkan dampak negatif. Wajar bila secara naluriah manusia bergerak menjarak terhadapnya. Sebaliknya, di lain sisi sampah dipandang masih berdaya guna selama jeli memanfaatkannya. Pandangan ini lebih mengedepankan persepsi positif, bahwa sampah pun bisa menjadi sumber inspirasi, kreatifitas dan penghasilan. Sehingga manusia merasa terpanggil untuk “mendekati” (baca: peduli).





Bukti sahih masih eksisnya persepsi negatif tentang sampah tercermin pada kasus meninggalnya seorang pemulung beberapa tahun lalu karena tertimbun longsoran sampah di Bandung. Dimana dinas terkait waktu itu berdalih tidak memadainya lagi TPA akibat meningkatnya kuantitas sampah rumah tangga disamping penolakan pembukaan areal baru oleh warga sekitar. Akhirnya beberapa ruas jalan kota terpaksa didaulat sebagai “terminal sampah”, sebagian masyarakat pun ikut membuang di sana sampai bertumpuk, hingga membahayakan keselamatan umum dan memicu korban jiwa.
Sikap hidup individualistik yang menggejala di masyarakat perkotaan salah satu faktor pemicu berkembangnya persepsi negatif nan fatal menuju ruang lingkup privat, bahwa sampah bukanlah masalah asalkan jauh dari tempat tinggalnya. Banyaknya praktik individu yang gemar membuang sampah sembarangan di tempat umum, hanya karena “kesadaran” bahwa tempat tersebut bukanlah di kediaman pribadinya adalah bukti penguat lain. Sedangkan pemulung yang mengais sampah demi menghidupi keluarganya, seniman yang merangkai barang bekas menjadi suatu kerajinan yang bernialai estetika sekaligus berdaya guna, maupun pengrajin yang mampu memproduksi sampah organik menjadi pupuk termasuk contoh kelompok yang memiliki persepsi positif tentang sampah.
Dari pemaparan di atas, pengelolaan sampah.tidaklah cukup bergantung pada tersedianya infrastruktur (TPA) atau alat daur ulang saja. Namun lebih penting dari itu adalah mengubah kultur masyarakat, termasuk persepsi akan sampah, karena pengelolaan sampah sangat terkait dengn kultur masyarakat. Pendidikan lingkungan harus kembali digalakkan di kampung, baik oleh tokoh masyarakat maupun pihak berwenang. Misalnya diawali lewat tradisi kerja bakti rutin yang perlahan semakin punah.
Pada prosesnya diselipkan materi berjenjang meliputi pemisahan sampah organik dan non-organik serta sampah daur ulang di tiap rumah tangga, pelatihan daur ulang secara mandiri dan kolektif, manajemen bisnis sampah bekas dengan tujuan ekonomis sebagai pencaharian warga yang menganggur maupun kas kampung di bawah bimbingan praktisi ahli, hingga terobosan baru dengan diadakannya semacam “adipura” antar kampung yang difasilitasi Pemda. Hendaknya semua proses sosialisasi tersebut juga melibatkan media massa sebagai penggerak dan pengarah wacana publik.
Selain itu, kaitannya dengan relasi antarpersonal, perlu ditularkan premis-premis pokok terkait sampah yang selama ini sudah demikian tenar di kalangan aktivis lingkungan. Sebagai contoh, apabila kondisi menuntut membeli makanan di luar rumah maka lebih baik dimakan di warung daripada dibungkus ke rumah. Kalaupun terpaksa harus dibungkus diharapkan mengurangi jumlah plastik yang digunakan, dengan menginisiatif kelompok makanan atau minuman mana saja yang bisa dibungkus dalam satu bungkus. Apalagi fungsi plastik kresek sebenarnya lebih berfungsi sebagai adab kesopanan daripada mempermudah pembawaan. Namun seringkali masyarakat membungkus barang belanjanya dalam banyak plastik dan sesampainya di rumah bungkus yang masih bersih, baru, serta dalam jumlah banyak tersebut langsung dibuang. Padahal sampah jenis tersebut tidak dapat diurai oleh partikel tanah, belum lagi jumlah sampah plastik yang potensial digunakan dalam industri makro sehari-hari.
Maka salah satu cara bijak yang bisa ditempuh dan selama ini juga penulis usahakan yakni mengumpulkan-menata-menjaga kebersihan plastik kresek yang didapat lewat proses konsumsi barang. Kemudian secara berkala menyetorkan kembali “paket” tersebut ke para pedagang yang telah dikoordinasi untuk digunakan kembali. Semakin banyak jaringan pemasok kertas plastik kresek “bekas” juga jumlah relasi pedagang yang mampu dijangkau dalam proses koordinasi tersebut tentunya akan lebih baik. Dengan begitu, jumlah peredaran plastik kresek dapat terkendali dan pedagang memperoleh transfer pengetahuan tentang pendidikan lingkungan secara langsung lewat proses bertahap. Jika tidak demikian, keseimbangan lingkungan yang sehat dipastikan terancam rusak, sebabnya apalagi kalau bukan harga plastik kresek yang demikian murah sehingga membuat para pedagang tak sayang mengedarkannya cuma-cuma kepada pembeli. Terjalin mata rantai nyampah ketika pembeli pun dengan mudah membuang plastik kresek, terlepas keadaannya masih baru atau sudah lusuh.
Sehebat apapun infrastruktur yang dibangun pasti sia-sia apabila sikap atau kultur masyarakat terhadap sampah tidak mulai dibangun. Tanpa mengubah persepsi tentang sampah, maka peran serta masyarakat dalam menanggulangi masalah sampah akan terbatas. Sebab masalah sampah hanya mampu diatasi lewat sinergi antara kebijakan pemerintah bersama kepedulian masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan terdekat dan terkecil.