Mata Kuliah Pendidikan Anti Korupsi
Sabtu, 23 April 2016
Pepatah lama dalam bahasa kaili
Ini adalah tugas ke 4 saya mata kuliah pendidikan anti korupsi yaitu membuat video pepatah lama dalam bahasa kaili dilengkapi dengan maknanya
Senin, 18 April 2016
Inspirasi
TUGAS III
MEMBUAT VIDEO INSPIRASI
mari kita simak video berikut ini
Nama ibu ini adalah ibu hartati, dia seorang PNS, mempunyai 3 orang anak yang masih kecil dan juga mempunyai suami yang setia menjaga keharmonisan keluarganya, ibu ini masih pagi sudah mengurusi sarapan anaknya sebelum ia berangkat ke sekolah, tempat dia mengabdi, apabila ditengah jam belajar anaknya tiba tiba menangis ia langsung bergegas untuk pulang, dan tentunya kembali kesekolah ulang, pulang sekolah ia langsung didapur mengurus makan siang ketiga anaknya yang masih berumur rata rata 2 tahun,.. ibu ini patut kita contohi dan menjadi inspirasi saya dalam melaksanakan tugas dari dosen.. sekian dari saya, sampai ketemu lagi dilain waktu.
Jumat, 11 Maret 2016
PENDAPAT MENGENAI KANTONG PLASTIK DAN TOILET BERBAYAR
Hari Minggu kemarin saya jalan jalan dimall Ramayana tepatnya dipalu sulawesi tengah sesudah saya berbelanja sampailah saya dikasir Mall tersebut untuk membayar barang yang saya beli sedikit mengagetkan adalah mulai hari Minggu 21 Februari 2016 Mall tersebut melakukan Program kantong plastik berbayar , setiap kantong plastik ukuran kecil dihargai 200/lembar Nah, berhubung dengan adanya Tugas dari dosen tentang pendapat mengenai kantong plastik berbayar saya setuju dengan kebijakan ini karna selama ini sering saya temukan banyak kasir yang boros kantong plastik apa apa ditaruh diplastik yang terpisah , padahal menurut saya satu kantong bisa memuat banyak barang , selain itu uang yang dipungut 200/lembar dapat digunakan untuk menanggulangi kemiskinan ditanah air, semoga saja kepercayaan kita kepada kebijakan pemerintah Tidak disalahgunakan demi kepentingan yang lain, Itu pendapat saya dan saya mendukung kebijakan itu
Disamping itu ketika saya kebelet pipis saya langsung ke wc disekitar Mall , saya kaget disuruh membayar dan saya melaporkan kepada pihak mall Ramayana, dan ternyata memang sudah diperlakukan sistem ini sudah 2 minggu yang lalu, menurut saya dengan diadakan sistem toilet berbayar ini, saya tidak terlalu suka dengan adanya sistem ini, karna ketika orang lain ingin buang air dan tidak mempunyai uang tentu hal ini merepotkan setau saya pihak mall sudah membayar petugas toilet untuk membersihkan, tapi kenapa lagi harus diminta lagi untuk membayar,jujur saya sangat kecewa dengan kebijakan ini
Hari Minggu kemarin saya jalan jalan dimall Ramayana tepatnya dipalu sulawesi tengah sesudah saya berbelanja sampailah saya dikasir Mall tersebut untuk membayar barang yang saya beli sedikit mengagetkan adalah mulai hari Minggu 21 Februari 2016 Mall tersebut melakukan Program kantong plastik berbayar , setiap kantong plastik ukuran kecil dihargai 200/lembar Nah, berhubung dengan adanya Tugas dari dosen tentang pendapat mengenai kantong plastik berbayar saya setuju dengan kebijakan ini karna selama ini sering saya temukan banyak kasir yang boros kantong plastik apa apa ditaruh diplastik yang terpisah , padahal menurut saya satu kantong bisa memuat banyak barang , selain itu uang yang dipungut 200/lembar dapat digunakan untuk menanggulangi kemiskinan ditanah air, semoga saja kepercayaan kita kepada kebijakan pemerintah Tidak disalahgunakan demi kepentingan yang lain, Itu pendapat saya dan saya mendukung kebijakan itu
Disamping itu ketika saya kebelet pipis saya langsung ke wc disekitar Mall , saya kaget disuruh membayar dan saya melaporkan kepada pihak mall Ramayana, dan ternyata memang sudah diperlakukan sistem ini sudah 2 minggu yang lalu, menurut saya dengan diadakan sistem toilet berbayar ini, saya tidak terlalu suka dengan adanya sistem ini, karna ketika orang lain ingin buang air dan tidak mempunyai uang tentu hal ini merepotkan setau saya pihak mall sudah membayar petugas toilet untuk membersihkan, tapi kenapa lagi harus diminta lagi untuk membayar,jujur saya sangat kecewa dengan kebijakan ini
Sabtu, 05 Maret 2016
Kepedulian terhadap sampah
Dunia sedang diterpa isu kerusakan
lingkungan hidup yang kian hari tampak nyata. Berdasarkan prakiraan
statistik, kurang dari sepuluh tahun ke depan beberapa kota besar di
Indonesia disinyalir segera menjelma menjadi “kota sampah” bila
manajemen sampah massa tidak dikelola serius oleh masyarakat bersama
pemerintah. Salah satu penandanya, sejumlah TPA utama telah mengalami overload,
sedangkan produksi sampah masyarakat meningkat pesat seiring arus
urbanisasi sekaligus maraknya pola baru penyajian konsumsi berbungkus.
Kini, semua pihak dituntut memiliki kesadaran dengan mengubah perilaku
yang lebih ramah lingkungan. Salah satu problem mendasar namun acapkali
disepelekan yakni pengelolaan sampah rumah tangga (SRT), yang justru
berada di lingkungan terdekat dan meliputi keseharian masyarakat.
Problem sampah dalam kehidupan manusia
tak bisa lepas dari sepasang filosofi paradoksal yang menyertainya.
Sebagaimana dijelaskan dalam khasanah psikologi lingkungan akan adanya
“kebutuhan” dan “keterbatasan”. Di satu sisi, sampah dipandang elemen
yang sudah tidak bernilai guna, identik dengan kekotoran dan kuman
penyakit yang menimbulkan dampak negatif. Wajar bila secara naluriah
manusia bergerak menjarak terhadapnya. Sebaliknya, di lain sisi sampah
dipandang masih berdaya guna selama jeli memanfaatkannya. Pandangan ini
lebih mengedepankan persepsi positif, bahwa sampah pun bisa menjadi
sumber inspirasi, kreatifitas dan penghasilan. Sehingga manusia merasa
terpanggil untuk “mendekati” (baca: peduli).
Bukti sahih masih eksisnya persepsi
negatif tentang sampah tercermin pada kasus meninggalnya seorang
pemulung beberapa tahun lalu karena tertimbun longsoran sampah di
Bandung. Dimana dinas terkait waktu itu berdalih tidak memadainya lagi
TPA akibat meningkatnya kuantitas sampah rumah tangga disamping
penolakan pembukaan areal baru oleh warga sekitar. Akhirnya beberapa
ruas jalan kota terpaksa didaulat sebagai “terminal sampah”, sebagian
masyarakat pun ikut membuang di sana sampai bertumpuk, hingga
membahayakan keselamatan umum dan memicu korban jiwa.
Sikap hidup individualistik yang
menggejala di masyarakat perkotaan salah satu faktor pemicu
berkembangnya persepsi negatif nan fatal menuju ruang lingkup privat,
bahwa sampah bukanlah masalah asalkan jauh dari tempat tinggalnya.
Banyaknya praktik individu yang gemar membuang sampah sembarangan di
tempat umum, hanya karena “kesadaran” bahwa tempat tersebut bukanlah di
kediaman pribadinya adalah bukti penguat lain. Sedangkan pemulung yang
mengais sampah demi menghidupi keluarganya, seniman yang merangkai
barang bekas menjadi suatu kerajinan yang bernialai estetika sekaligus
berdaya guna, maupun pengrajin yang mampu memproduksi sampah organik
menjadi pupuk termasuk contoh kelompok yang memiliki persepsi positif
tentang sampah.
Dari pemaparan di atas, pengelolaan
sampah.tidaklah cukup bergantung pada tersedianya infrastruktur (TPA)
atau alat daur ulang saja. Namun lebih penting dari itu adalah mengubah
kultur masyarakat, termasuk persepsi akan sampah, karena pengelolaan
sampah sangat terkait dengn kultur masyarakat. Pendidikan lingkungan
harus kembali digalakkan di kampung, baik oleh tokoh masyarakat maupun
pihak berwenang. Misalnya diawali lewat tradisi kerja bakti rutin yang
perlahan semakin punah.
Pada prosesnya diselipkan materi
berjenjang meliputi pemisahan sampah organik dan non-organik serta
sampah daur ulang di tiap rumah tangga, pelatihan daur ulang secara
mandiri dan kolektif, manajemen bisnis sampah bekas dengan tujuan
ekonomis sebagai pencaharian warga yang menganggur maupun kas kampung di
bawah bimbingan praktisi ahli, hingga terobosan baru dengan diadakannya
semacam “adipura” antar kampung yang difasilitasi Pemda. Hendaknya
semua proses sosialisasi tersebut juga melibatkan media massa sebagai
penggerak dan pengarah wacana publik.
Selain itu, kaitannya dengan relasi
antarpersonal, perlu ditularkan premis-premis pokok terkait sampah yang
selama ini sudah demikian tenar di kalangan aktivis lingkungan. Sebagai
contoh, apabila kondisi menuntut membeli makanan di luar rumah maka
lebih baik dimakan di warung daripada dibungkus ke rumah. Kalaupun
terpaksa harus dibungkus diharapkan mengurangi jumlah plastik yang
digunakan, dengan menginisiatif kelompok makanan atau minuman mana saja
yang bisa dibungkus dalam satu bungkus. Apalagi fungsi plastik kresek
sebenarnya lebih berfungsi sebagai adab kesopanan daripada mempermudah
pembawaan. Namun seringkali masyarakat membungkus barang belanjanya
dalam banyak plastik dan sesampainya di rumah bungkus yang masih bersih,
baru, serta dalam jumlah banyak tersebut langsung dibuang. Padahal
sampah jenis tersebut tidak dapat diurai oleh partikel tanah, belum lagi
jumlah sampah plastik yang potensial digunakan dalam industri makro
sehari-hari.
Maka salah satu cara bijak yang bisa
ditempuh dan selama ini juga penulis usahakan yakni
mengumpulkan-menata-menjaga kebersihan plastik kresek yang didapat lewat
proses konsumsi barang. Kemudian secara berkala menyetorkan kembali
“paket” tersebut ke para pedagang yang telah dikoordinasi untuk
digunakan kembali. Semakin banyak jaringan pemasok kertas plastik kresek
“bekas” juga jumlah relasi pedagang yang mampu dijangkau dalam proses
koordinasi tersebut tentunya akan lebih baik. Dengan begitu, jumlah
peredaran plastik kresek dapat terkendali dan pedagang memperoleh
transfer pengetahuan tentang pendidikan lingkungan secara langsung lewat
proses bertahap. Jika tidak demikian, keseimbangan lingkungan yang
sehat dipastikan terancam rusak, sebabnya apalagi kalau bukan harga
plastik kresek yang demikian murah sehingga membuat para pedagang tak
sayang mengedarkannya cuma-cuma kepada pembeli. Terjalin mata rantai nyampah ketika pembeli pun dengan mudah membuang plastik kresek, terlepas keadaannya masih baru atau sudah lusuh.
Sehebat apapun infrastruktur yang
dibangun pasti sia-sia apabila sikap atau kultur masyarakat terhadap
sampah tidak mulai dibangun. Tanpa mengubah persepsi tentang sampah,
maka peran serta masyarakat dalam menanggulangi masalah sampah akan
terbatas. Sebab masalah sampah hanya mampu diatasi lewat sinergi antara
kebijakan pemerintah bersama kepedulian masyarakat untuk peduli terhadap
lingkungan terdekat dan terkecil.
sumber : https://hariopriojati.wordpress.com
Langganan:
Komentar (Atom)

